sebuah password untuk setiap katalog cinta

Friday, March 04, 2005

MERENDA JALAN PULANG

Kalau ada sebuah nasyid yang begitu menggetarkan saya. Itulah Al I’tiraf. Entah mengapa, mungkin karena kami memiliki kegundahan yang sama. Baik yang dibawakan Hadad Alwi maupun Raihan dalam album Kumpulan Terbaik-nya sama bagusnya. Terasa mengharu. Syahdu. Seakan ada getaran tangan hamba yang ingin meraih telapak “kaki” qudus Tuhan. Bersujud kepada Being (dengan ‘b’ besar) yang menyisihkan kemungkinan eksistensi segala “being”.

Disitulah kita menemukan ke-diri-an kita yang lemah yang bagaimanapun selalu membutuhkan tempat pulang dan merindukan Dzat Azali yang menjadi ranah untuk kembali.
Kembali - menjadi sebuah proses yang sangat berharga ketika sebuah proses bergerak dialami. Ada entitas-entitas cinta yang menunggu dan kita tunggu. Ada ibu yang menahan rindu. Ada istri yang rela menahan lapar demi membersamai makan malam bersama sang suami. Ada anak yang selalu pulang tiap Sabtu. Dan......energi-energi lain yang menumbukkan partikelnya demi sebuah fusi cinta dan rindu.

Mari kita kembali! Tapi omong kosong kita bisa nikmat kembali kalau tak pernah mencintai! Suatu ketika saya mencoba melakukan komunikasi imajiner dengan Tuhan. Saya bertanya, “Ya Robb! Dimanakah Kau letakkan jawaban rasa rinduku!” Tuhan masih diam. “Mengapa rinduku belum sepenuhnya terkumpul pada-Mu? Mengapa harus ada nyawa lain yang terindukan dalam ruas jalan pulang?” Tanpa memperkenalkan dahulu ternyata Tuhan mengutus seorang bocah kecil menghampiriku. Kerudung pokemon merah kuning sedikit menjepit dagunya. “Kak! Ngaji, Kak!” Bibir tipisnya membariskan huruf hijaiyah yang dieja patah-patah. Sebuah rangkaian yang belum bisa saya baca pada masa seusianya. “Kak! Besok nggak usah ngulang ya!” “Ya!”, jawab saya. Bocah itu lalu merapat pada adiknya, Dida. Kerudung hijaunya dielus si kakak. Saya terkagum inilah sebuah cinta. Kita akan melingkarkan rindu dalam setiap keletihan. Untuk meminta sebuah minuman rasa aman.

Setiap pukul lima sore TPA, saya merasa Tuhan hadir dalam wajah-wajah cerah para ibu yang mengantar anaknya pulang. Ternyata ketaatan mendekat kepada Tuhan harus diuji dengan kecintaan pada apapun yang Tuhan titipkan pada kita. Justru kita dianggap belum beriman kalau tidak menyayangi semua ciptaan meski berdalih ingin berkasih-kasih dengan Tuhan secara dalam.

Tetapi menuju jalan pulang yang dirindukan tidaklah semudah menunggu bis di pinggir jalan. Yang jadi masalah bukan kita tidak tahu kepada siapa dan dimana kita akan pulang, tapi merawat renda-renda rindu agar tidak terkalahkan oleh kegempitaan dan kenikmatan selain dari dan menuju Tuhan.

Maka menurut saya kita memerlukan gandengan tangan Tuhan. Saya sepakat dengan keterangan Ustadz Quraish Shihab, semoga Allah memberi kemuliaan pada beliau, bahwa “Ihdinash-shiraathal mustaqiim”, bukan sekedar “Tunjukkan kami jalan yang lurus!” Tapi, “Antarkan kami menuju jalan keselamatan!” Karena kita akan mudah melayang kalau Allah tidak mengikatkan tali kasih sayang-Nya, tidak menjaga, menggamit dan mengantar sampai tujuan.
Pernahkah Anda menghitung ulang kebersamaan diantara kita. Apakah segenap persahabatan, persaudaraan dan keakraban yang dijalin akan menguatkan rasa kedekatan kita menuju Tuhan. Kalau kita sepakat memilih pasangan hidup karena kualitas agamanya, dapatkah itu ditransfer sebagai dasar menguatkan hubungan persaudaraan yang lebih luas. Tanpa bermaksud mempertentangkan dengan konsep rahmatan lil ‘alamien yang inklusif dan dialektik, saya hanya ingin berpikir lebih sadar bahwa usia hidup yang pendek harus diisi dengan balutan-balutan hubungan yang bisa menghangatkan gandengan Tuhan. Itulah fungsi mengapa kita mengikat sayang. Berikhtiar membersamai menguatkan kualitas internal sesama saudara-saudara yang sudah “jatuh cinta” kepada Tuhan dan perlahan selalu mengajak pada para pemilik hati yang baru sampai pagar depan kecintaan atau bahkan masih di ujung jalan.

Segeralah kita tampilkan wajah Tuhan, karena kita tidak tahu siapa saja yang Allah pilih sebagai jalan datangnya cahaya yang menerangi beranda hati kita menuju jalan pulang.»

1 Comments:

Blogger Unknown said...

Sepakat. Urip ing ndunyo iki mung mampir ngombe.

12:36 AM

 

Post a Comment

<< Home