sebuah password untuk setiap katalog cinta

Friday, November 02, 2007

SUKSES KITA TERGANTUNG DOA IBU KITA

Labels:

BELAJAR DARI GURU

Labels:

ALLAHUMMANSHURNAA....

Labels:

BENTENG TAKESHI: RAKOR JAYAGIRI LEMBANG 2007

Labels:

CEPAT LAMBAT PASTI JUGA

Labels:

PULAU GALANG : MEMORY OF THE PAST TRAGEDY

Labels:

RIAU LUAR BIASA

Labels:

Thursday, November 01, 2007

MARKETING SUPPORT Squad

Labels:

Wednesday, March 16, 2005

MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA : kado buat ricuh DPR, 16 Maret 2005

I


Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini



II


Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.



III


Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.



IV


Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.



Taufik Ismail, 1998

Sunday, March 06, 2005

Ruang itu bernama cinta

Ruang itu bernama cinta
Tempat dulu kita bertemu

Sejarah itu bernama rindu
Yang merekam kisah kita dalam balutan kasih

Udara itu bernama asa
Yang terus setia memberi kehidupan pada semangat kita


dari sahabatku; bowo sugiarto

Friday, March 04, 2005

MEMBACA PESONA : catatan akhir pekan

Ingin kuingat masa dulu mahasiswa. Seperti biasa, mata ini tak cukup bisa menolak meniti baca deretan judul buku yang tergolek di gelaran lantai serambi sebuah masjid pagi itu. Bukan Di Negeri Dongeng, tanpa sadar buku itu telah terayun di tangan, dalam mimik tipis- guratan kata di cover belakangnya menarik simpati saya. Singkat cerita buku itu kini menyelinap dalam tas bututku, untuk sebuah kredo yang selalu saya yakini bahwa BUKU ADALAH INVESTASI.

Belum lama terpindai seluruh ruas kata dalam setiap lembarnya, ingin betul saya menuliskan serupa. Tentang kisah nyata para pejuang yang banyak meneteskan keguruannya dalam ranah hati saya.

Izinkan penghormatan itu berangkat pada seorang guru yang sangat bersahaja, KH. Ahmad Dunuwi Hamim Allahu yarham. Dalam usia senjanya beliau selalu mengajarkan keramahan, bahkan begitu menghormati direktur kami yang jelas-jelas mantan muridnya. Baju putih dengan lipatan tajam bekas setrika mengingatkan saya tentang etika, tentang ilmu akhlaq dan hadits yang beliau ajarkan ke kami, siswa-siswa bengalnya. Malam itu berombongan kecil kami membesuk, dengan lirih saya bisikkan nama saya ke dekat telinganya, “Harmoko”, nama yang lebih akrab dipilihnya. Mata tua itu berkaca, senyumnya berat tanpa sanggup berkata. Kabar duka tiba sepekan setelahnya. Seluruh angkatan siang itu mengerumuni tanah makam, sebelum Ia menuju Tuhannya. Kekasihnya.

Tergetar pula saya pada retorika seorang tua. KH. Suprapto Ibnu Juraimi namanya. Malam itu dalam sebuah training, suaranya menggedor ruang spiritual saya. Tentang pentingnya berjuang, tentang urgensinya berdakwah. Jangan tanya dimana beliau saat bulan puasa. Staminanya begitu enerjik mengantarkan rihlah da’wahnya ke pelosok nusantara. Entah mungkin karena bentakan beliaulah saya mulai hadir dalam noktah kecil gerakan dakwah. Kalau tidak, mungkin trieha sudah ikonik dengan musik-musik metal, atau penyiar radio rock yang dulu pernah diimpikannya.

Sejarah lalu menyempatkan saya berkenalan dengan seorang guru. Pak Kamal atau lengkapnya Prof. Drs. Kamal Mukhtar biasa kami memanggilnya. Dalam perjalanan semobil saya menjemputnya, beliau bercerita betapa kalau sudah tua semuanya adalah ibadah. Pribadinya yang jujur, santun dan sederhana membuat wajar kalau Azyumardi Azra dan Tarmizi Taher menuakannya dan menganggap beliau seperti bapak kandungnya. Saya ingat dua tahun lalu ketika kami memohon beliau mengisi kajian pagi beliau berpesan tak usahlah dijemput. “Jalan kaki lebih sehat untuk seusia saya..”

Kesederhanaan pula yang saya puji dalam diri Prof. Husain Haikal. Saya kira guyon beliau menjanjikan bertemu di Gedung Pascasarjana UNY pukul 06.00 WIB, pagi itu benar saya datangi tak selang lama beliau tiba dengan motor pitungnya. Beliau langsung menyalami saya, “Saya harus menjadi teladan buat mahasiswa saya.....” Setiap kali saya sowan ke rumahnya. Suaranya masih terus meledak-ledak, tentang keprihatinannya pada dunia pendidikan kita. Kami bercakap begitu santainya, tidak seperti beberapa dosen yang sok jaga wibawa.

Tentu masih banyak pula cerita, tetapi saya cuma ingin mengajak mencerna betapa kemuliaan itu hadir menyenyawa pada sikapnya, bukan sekedar hartanya, orasinya atau tulisannya. Siapa yang pernah bertamu ke rumah Pak Adaby Darban atau Prof. Achmad Mursyidi pasti bisa merasa betapa aura ketawadhuan tergurat begitu indahnya. Mereka, kalau boleh meminjam ungkapan dalam buku yang dulu saya beli, bukan cerita fiktif dari dongeng manapun. Mereka memang sungguh ada, bahkan tak jauh dari Anda!

Ah, saya jadi teringat rekan-rekan saya di sebuah blok kecil di Jl. Veteran Yogyakarta. Mereka begitu ceria, semoga kalaulah saya tidak bisa memberi lebih lama, saya ingin kelopak harum namanya masuk ke inbox sms saya, entah dimanapun besok saya berada......

MEMASARKAN JIWA MERDEKA

Saya betul-betul ingin tertawa! Sebuah poster ukuran A3 yang melekat di papan pengumuman di komplek saya rupanya ingin menjerat setiap mata. Dalam balutan warna biru yang dominan, poster ini sedang berjualan, setidaknya dengan bahasanya sendiri, akan sebuah lembaga studi pemasaran di Yogyakarta. Mungkin agak 'kejam' jika saya mengawali apresiasi pesan promosi ini dengan sebuah tawa. Tapi dengan segala hormat dan maaf kepada institusi pendidikan tersebut izinkan saya tertawa. Sebentar saja. Mengapa? Ada dua gambar 'menarik' yang ditampilkan agak mencolok di poster tersebut. Dan gambar itu adalah gambar seorang wanita. Gambar pertama memperlihatkan foto seorang perempuan muda dengan tata busana ala sekretaris muda. Disekitarnya berkeliling atribut-atribut yang dianggap kantoran; mulai komputer, tembok bercat putih melambangkan keformalan, hingga kursi putar dengan roda yang bisa diajak main luncur-luncuran. Dengan santainya 'mbak' ini malah duduk di kursi menyilangkan kaki, judulnya "pose sedang membaca", Saudara-saudara! Yang ndak mutu, cara duduknya itu lho! Bukankah rok span yang sudah mini itu jadi ikut terangkat setengah tiang? (kayak bendera aja!).

Gambar kedua juga bernada sama. Mbak yang sama, dalam blus coklat yang sama cuma dengan sedikit tata rambut yang berbeda, rupanya ingin menambah judul baru posenya. Bagaimana kalau kita sepakati saja judulnya "membaca sambil berdiri". Sekali lagi saya harus berkomentar, sebab dalam pose berdiri tersebut mengapa sang kaki harus diperankan lagi dalam adegan agak terangkat saat tubuh didudukkan sedikit di sudut meja?

Saya sama sekali tidak dibayar untuk beriklan, apalagi mayoritas pembaca juga sepakat dengan anti aurat diumbarkan. Saya memandang ini lucu (yang sebenarnya terdengar getir) karena apakah harus demikian sebuah promosi pendidikan dilakukan. Eksploitasi idenya sudah sejauh mana? Lembaga studi pemasaran lagi! Seolah-olah yang namanya marketer sukses adalah profil pribadi seperti gambar iklannya. Seakan iklan (yang sebenarnya adalah personifikasi dari profil lembaga) hendak bicara, "Wahai kawula muda! Bersegeralah kalian pada tawaran keindahan dunia! Bingung mencari dimana? Kami sanggup meneyediakannya!" Lalu apakah masyarakat sedemikian mudah digiring ketertarikannya? Bukankah pemasaran yang baik harus pula memperhitungkan sistem nilai, budaya dengan ragam etika yang beredar di lingkungan psikografi target pasarnya? Gaya lokal? Kenapa tidak? Sebuah produk global saja berani memasang lagu dangdut demi mendekati pasar Indonesia. Kita sendiri malah berlomba-lomba berkiblat pada definisi putihnya kulit gadis Eropa.

Sebuah iklan memang harus eye-catching, harus mampu menyergap mata dengan headline yang bisa menarik partisipasi emosi baik lewat gambar maupun barisan kata. Masing-masing kita bebas membumikan setiap ide di kepala. Kalau ada banyak sahabat yang menyatakan kebebasan ide dibatasi pada lingkaran norma agama, saya ingin memberi sudut pandang yang berbeda. Menurut saya kebebasan ide kita juga sangat dipenjara oleh industrialisasi dengan sederet logika komersialnya. Putar lagi kenangan kita empat tahun lalu ketika millenium baru III dimulai. Ramai-ramai kita tersihir menjadikan warna silver sebagai idola. Seorang dosen saya dulu pernah menyatakan bahwa di Amerika ada sebuah institut yang membuat rekomendasi warna untuk tampilan gempuran budaya massa sedunia. So..sedikit banyak kita akhirnya tidak merdeka.

Maka izinkan saya bila mengutip sebuah catatan keberanian yang sangat menarik dari Istiadah dalam tulisannya Menjadi Santri Di Negeri Kanguru, salah satu kolom dalam buku Menjadi Santri Di Luar Negeri dimana kang Deddy Mulyana menjadi editornya. .

Mari saya kutipkan pengalamannya :
"Keyakinanku semakin mantap. Aku duduk di antara teman-teman Women's Studies dengan tenang. Sampailah giliranku untuk memperkenalkan diri dan aspirasi feminisku. Aku katakan pada mereka, jilbab inilah simbol feminisku. Semua mata menatapku dengan heran. Aku bersemangat menjelaskan bahwa dengan berjilbab berarti kita tidak mau memberikan pandangan gratis kepada laki-laki iseng. Dengan jilbab berarti kita tidak tunduk dengan mode yang diciptakan laki-laki untuk memuaskan hawa nafsu mereka. Dengan jilbab wanita Muslimah mempunyai kontrol penuh terhadap tubuhnya sendiri."

Tentu saya tidak sedang menggurui dalam posisi apa penampilan Anda, apalagi pilihan mazhab Anda. Saya sekedar ingin mengingatkan bahwa kita harus tetap mandiri dalam kemerdekaan pilihan di atas bangunan kesadaran yang telah banyak dikonsultasikan pada beningnya hati dan jernihnya pikiran. Meminjam judul sebuah buku manajemen bisnis, "Different or Die". Silahkan berbeda! Jangan sampai keberadaan kita seolah sama dengan ketiadaan kita gara-gara terperangkap dalam hegemoni idola-idola.#

MERENDA JALAN PULANG

Kalau ada sebuah nasyid yang begitu menggetarkan saya. Itulah Al I’tiraf. Entah mengapa, mungkin karena kami memiliki kegundahan yang sama. Baik yang dibawakan Hadad Alwi maupun Raihan dalam album Kumpulan Terbaik-nya sama bagusnya. Terasa mengharu. Syahdu. Seakan ada getaran tangan hamba yang ingin meraih telapak “kaki” qudus Tuhan. Bersujud kepada Being (dengan ‘b’ besar) yang menyisihkan kemungkinan eksistensi segala “being”.

Disitulah kita menemukan ke-diri-an kita yang lemah yang bagaimanapun selalu membutuhkan tempat pulang dan merindukan Dzat Azali yang menjadi ranah untuk kembali.
Kembali - menjadi sebuah proses yang sangat berharga ketika sebuah proses bergerak dialami. Ada entitas-entitas cinta yang menunggu dan kita tunggu. Ada ibu yang menahan rindu. Ada istri yang rela menahan lapar demi membersamai makan malam bersama sang suami. Ada anak yang selalu pulang tiap Sabtu. Dan......energi-energi lain yang menumbukkan partikelnya demi sebuah fusi cinta dan rindu.

Mari kita kembali! Tapi omong kosong kita bisa nikmat kembali kalau tak pernah mencintai! Suatu ketika saya mencoba melakukan komunikasi imajiner dengan Tuhan. Saya bertanya, “Ya Robb! Dimanakah Kau letakkan jawaban rasa rinduku!” Tuhan masih diam. “Mengapa rinduku belum sepenuhnya terkumpul pada-Mu? Mengapa harus ada nyawa lain yang terindukan dalam ruas jalan pulang?” Tanpa memperkenalkan dahulu ternyata Tuhan mengutus seorang bocah kecil menghampiriku. Kerudung pokemon merah kuning sedikit menjepit dagunya. “Kak! Ngaji, Kak!” Bibir tipisnya membariskan huruf hijaiyah yang dieja patah-patah. Sebuah rangkaian yang belum bisa saya baca pada masa seusianya. “Kak! Besok nggak usah ngulang ya!” “Ya!”, jawab saya. Bocah itu lalu merapat pada adiknya, Dida. Kerudung hijaunya dielus si kakak. Saya terkagum inilah sebuah cinta. Kita akan melingkarkan rindu dalam setiap keletihan. Untuk meminta sebuah minuman rasa aman.

Setiap pukul lima sore TPA, saya merasa Tuhan hadir dalam wajah-wajah cerah para ibu yang mengantar anaknya pulang. Ternyata ketaatan mendekat kepada Tuhan harus diuji dengan kecintaan pada apapun yang Tuhan titipkan pada kita. Justru kita dianggap belum beriman kalau tidak menyayangi semua ciptaan meski berdalih ingin berkasih-kasih dengan Tuhan secara dalam.

Tetapi menuju jalan pulang yang dirindukan tidaklah semudah menunggu bis di pinggir jalan. Yang jadi masalah bukan kita tidak tahu kepada siapa dan dimana kita akan pulang, tapi merawat renda-renda rindu agar tidak terkalahkan oleh kegempitaan dan kenikmatan selain dari dan menuju Tuhan.

Maka menurut saya kita memerlukan gandengan tangan Tuhan. Saya sepakat dengan keterangan Ustadz Quraish Shihab, semoga Allah memberi kemuliaan pada beliau, bahwa “Ihdinash-shiraathal mustaqiim”, bukan sekedar “Tunjukkan kami jalan yang lurus!” Tapi, “Antarkan kami menuju jalan keselamatan!” Karena kita akan mudah melayang kalau Allah tidak mengikatkan tali kasih sayang-Nya, tidak menjaga, menggamit dan mengantar sampai tujuan.
Pernahkah Anda menghitung ulang kebersamaan diantara kita. Apakah segenap persahabatan, persaudaraan dan keakraban yang dijalin akan menguatkan rasa kedekatan kita menuju Tuhan. Kalau kita sepakat memilih pasangan hidup karena kualitas agamanya, dapatkah itu ditransfer sebagai dasar menguatkan hubungan persaudaraan yang lebih luas. Tanpa bermaksud mempertentangkan dengan konsep rahmatan lil ‘alamien yang inklusif dan dialektik, saya hanya ingin berpikir lebih sadar bahwa usia hidup yang pendek harus diisi dengan balutan-balutan hubungan yang bisa menghangatkan gandengan Tuhan. Itulah fungsi mengapa kita mengikat sayang. Berikhtiar membersamai menguatkan kualitas internal sesama saudara-saudara yang sudah “jatuh cinta” kepada Tuhan dan perlahan selalu mengajak pada para pemilik hati yang baru sampai pagar depan kecintaan atau bahkan masih di ujung jalan.

Segeralah kita tampilkan wajah Tuhan, karena kita tidak tahu siapa saja yang Allah pilih sebagai jalan datangnya cahaya yang menerangi beranda hati kita menuju jalan pulang.»

KENALKAN TERNYATA KELINCI PENDEK EKORNYA

Dulu masa-masa SD ketika saya masih bisa banyak di rumah ada kesibukan yang selalu dibagi bapak buat kami tiga anaknya. Salah satunya yang paling penting adalah untuk mengurusi hewan-hewan piaraan keluarga. Mulai memberi makan lele, mengganti air minum burung-burung, sampai membersihkan kandang kelinci dan mengatur pakannya setiap pagi dan sore. Antara susah dan senang kami harus mengelola semuanya. Susah karena harus selalu berkepung dengan kotoran tapi juga senang kalau melihat anak-anak kelinci terlahir belasan, atau lele-lele sudah cukup pantas masuk wajan.

Anda mungkin punya pengalaman yang lebih menyenangkan. Entah dengan binatang apapun. Tetapi menjadi (sedikit banyak) pikiran buat saya bila melihat bagaimana anak-anak sekarang dibesarkan. Bagaimana mereka terjauhkan dari sebuah kondisi lingkungan yang sebenarnya sangat berguna untuk menumbuhkan kasih sayang. Mungkin akan ada banyak alibi, “Lho kan kami nggak punya lahan”, atau “Tuh liat Pak Fulan aja burung-burungnya malah ngerusakin genting, sampeyan orang desa sih makanya enak bisa miara apa aja!” Wah, berabe juga tuh kalau saya dibilangin gitu. Bukan, bukannya saya mengharap setiap keluarga harus punya hewan ternakan di rumah. Saya sangat bisa memahami bagaimana repotnya hidup di kota dengan petak tanah yang sempit, belum lagi suara-suara parau tetangga yang mual dengan bau kotoran piaraan kita.

Saya hanya ingin membuka kesadaran bagaimana masa anak-anak adalah masa terdini dimana setiap kita yang lebih tua bertanggung jawab menanamkan etos kerja dan penumbuhan empati. Pengenalan pada binatang hanyalah salah satu contoh yang saya jadikan bagaimana tarbiyah itu bisa dimulai. Betapa banyak kita masih sering cuek untuk bercengkrama dengan adik kita, putra-putri kita untuk mengajak mereka berputar-putar melihat betapa fauna yang diciptakan Allah begitu beragamnya.

Betapa maukah kita memperkenalkan beda ini ikan bawal, itu ikan nila, ini burung nuri, kalau bentuknya lebih kecil namanya parkit, atau ini belut jadi kamu jangan takut, dan semisalnya. Kadang tidak sampai hati saya melihat seorang bocah di sebuah pasar merengek minta dibelikan anak ayam pada bapaknya, tapi dengan ketus si bapak bilang, “Buat apa ayam, bikin kotor rumah aja!”. Saya tertarik dengan iklan sebuah deterjen yang memberi pesan bahwa dalam kotor itu ada belajar. Kita begitu tak tega melihat lantai rumah kotor sebaliknya begitu tega membiarkan anak sendiri terkatup sedih dengan harapan berkasih sayang yang hilang. Kesempatan belajar berempati, belajar tanggung jawab harus terkalahkan.

Begitu juga dengan pengenalan pada dunia flora, dunia tanaman. Bukankah Adam memiliki kelebihan dibanding malaikat dalam hal keunggulannya bisa menunjukkan dan mengidentifikasi apa nama dan jenis ciptaan-Nya. Sekali lagi anak-anak/adek-adek kita, bisa jadi juga karena sistem pendidikan kita, masih begitu asing dengan biota hayati di sekelilingnya. Anak-anak kita hanya dikenalkan jenis tanaman dan hewan lewat gambar-gambar berbingkai pigura. Imaji mereka hanya terekam dari tontonan gambar cetak atau gerak visual di televisi.

Kenapa untuk pelajaran Biologi dasar anak-anak tidak diajak saja ke Kebun Binatang atau Kebon Raya. Anak-anak bisa benar-benar membuktikan bahwa kelinci itu panjang kupingnya, pendek bahkan sering bengkok ekornya. Kenalkan pula jenis makanan apa saja yang jadi kegemarannya. Atau dipertunjukkan bahwa ternyata ada tanaman yang setiap bulan bisa berganti-ganti warna bunganya. Atau kalau sekolah tidak mampu biaya ke kebun raya, ajak saja ke sawah. Kenalkan bagaimana telur katak menjadi kecebong lalu melepas ekornya menjadi katak dewasa. Atau ajak mereka berpikir mengapa semakin banyak tikus menyerang sawah. Oo, mungkin karena manusia terlalu kejam membunuh ular-ular sawah.

Maka marilah kita memperhatikan kembali anak-anak kita. Jangan sampai dunianya begitu sunyi dari mengenal guratan alam. Jangan sampai generasi anak-anak kita menjadi generasi yang terdidik untuk menguatkan egoismenya. Lebih asyik bermain dengan video game personal yang lebih sering mengutamakan permusuhan, kekerasan dan menang (ada trik cheat nya lagi!). Jarang mereka dikenalkan untuk berlatih memiliki tanggung jawab perawatan, tidak terbiasa dengan kasih-mengasihi dan kerja sama dengan sesama.

Walaupun mungkin masih cukup debatable, saya menemukan mengapa empati semakin jarang dan mahal di kalangan anak-anak kita boleh jadi karena anak-anak tidak terbiasa dan dibiasakan untuk mencintai. Binatang dan tanaman sebagai media pembiasaannya pun belum cukup direspons dan disediakan oleh pihak yang lebih tua. Kalaupun tersedia kadang anak dikonsentrasikan pada kebutuhan produksi yang artinya memelihara sebatas tuntutan mencari keuntungan ekonomi. Orang tua belum menjadi guide bahwa bocah mereka harus menjadi penggembala (cah angon) yang bertanggung jawab dengan sadar. Karena bagaimanapun juga mereka kelak akan dewasa dan akan menggembala amanah-amanah yang mungkin lebih berat dari bapak ibunya. 

Thursday, March 03, 2005

Nak, Besok Besar Bangunlah Aceh!

Sudah siapkah Anda menjadi ayah?

Siap tidak siap akhirnya momentum itu tiba. Ada yang baru dalam rahim istriku! Ibu bidan di sebuah klinik mengabarkannya, sudah 4 minggu. Hamil? Yah begitulah. Idealnya sih kita memang harus selalu siap, tapi entah antara rasa suka dan haru, ada saja terselip ragu. Dalam kerutan dahi untuk sederet baris kata “Mampukah...?” dan sinonimnya. Belum genap 2 bulan pernikahan kami, wajar saja bila kami masih ingin bersama berdua, bercanda banyak dalam mengenang masa remaja atau waktu kami masih malu-malu bekerja sama saat mahasiswa dulu. Bisa nggak ya? Bismillah..Allah pasti mau bantu.

Bila dihitung mundur, cukuplah getir mengingat masa-masa awal ini terlingkari. Nanggroe Aceh dan Sumatera Utara harus diuji oleh gempa dan tsunami. 26 Desember di pagi hari. 8,9 skala richter kata sebuah sumber. 200-an ribu nyawa melesat sebagai syuhada, 300-an ribu warga jadi pengungsi, belasan ribu anak harus jadi yatim piatu. Allahu Akbar..

Berikut ini anggap saja sebentuk surat cintaku pada (bakal) anakku. Buat neng Ai istriku, maafkan mas. 2 surat cintamu dalam 2 bulan ini belum sempat kubalas. Punten kalau mas dahulukan untuk buah hatimu.

“Nak! Izinkan ayah sedikit bertutur tentang apa yang menggetarkan ayah hari-hari ini. Kelak jika Allah taqdirkan kau menghirup udara dunia semoga dokumentasi ini bisa kau baca dan menjadi referensimu diskusi panjang denganku. Ayah tak akan cerita banyak tentang kejadian di jam-jam sarapan pagi itu. Kau bisa lihat sendiri dari file yang ayah down load dari internet, tentang simulasi gerak kejadiannya, tentang foto-foto korbannya, juga gambar-gambar yang tertangkap dari satelit, perhatikan beda sebelum dan sesudah tsunami. Atau kalau kau kurang jelas, besok lihatlah dokumentasi Bang Hasyim Mulyadi. Rekaman video amatirnya betul-betul detail dan menghanyutkan rasa setiap jiwa. Sebuah stasiun TV berita coba aja kau lobby supaya kau dapat tonton ulangan rekamannya. Ayah juga punya beberapa arsip berita dari rekan-rekan jurnalis di Aceh Media Center. Reportase-reportase mas Farid Gaban dari Pena Indonesia, atau kumpulan tulisan koresponden relawan lembaga ayah bekerja juga bisa melengkapi bahan bacamu.

Ayah hanya ingin kau pelajari tentang hebatnya nyala Aceh. Nyala yang tak pernah padam sejak zaman Iskandar Muda bahkan jauh sebelumnya. Ayah ingin namai kau: Malahayati, yang mengingatkanku pada kepahlawanan seorang perempuan pemberani, laksamana angkatan laut pengawal samudera Kerajaan Aceh. Cournelis de Houtman, sang komandan imperialis pertama dari Belanda, konon terbunuh di tangannya di atas geladak kapal tahun 1599. Kini nama pejuang itu telah diabadikan menjadi nama pelabuhan di Krueng Raya.

Ingin pula kau ayah namai : Dien. Selain karena ayah juga sangat terkesan dengan Cut Nya’ Dien, ayah juga ingin kau teguh memegang dienullah, Islam kaffah kita. Kedua tokoh ini sudah ayah siapkan biografinya untuk kau baca nanti. Kau bisa tambah sendiri dari menelusuri lewat search engine di internet. Zamanmu kelak pastilah sudah terbiasa dengan dunia cyber. Kalau kelak kau punya PDA atau tablet PC jangan lupa isilah dengan sejarah tokoh-tokoh pejuang agama kita. Kalau kau perlu buku, ayah bisa antar kau ke perpustakaan kampus ayah mahasiswa dulu di kampus biru Bulaksumur. Teman ayah yang jadi dosen bisa ayah mintakan tolong membantu mencari data yang kau perlu. Barusan ayah baca tulisan mas Andreas Harsono di milis Pantau, judulnya “Republik Indonesia Kilometer Nol”. Bagus sekali! Lumayan buat jadi rujukanmu.

Terserah saja kau ingin mengambil nyala apa dari sejarah rakyat Aceh. Entah apa nanti guru sasteramu juga mengenalkanmu pada Hamzah Fansuri. Juga tentang Hikayat Perang Sabil yang menjadi pembakar perjuangan melawan Belanda. Atau pujangga-pujangga pejuang lainnya. Setidaknya dengarlah koleksi senandung dari Raffly, penyanyi lagu tradisional Aceh, bisa jadi sedikit gambaran kerinduan mereka pada Islam Aceh nan Darussalam. Ayah tak ingin kau dapat pelajaran bahwa Daud Beureueh itu seorang penjahat negara, beliau seorang ulama, Nak! Seorang teungku yang justru sangat cinta Indonesia. Bung Karno bahkan segan dan hormat kepadanya (tapi kenapa ya janjinya untuk memberi otonomi pada Aceh malah tak ditepati?). Kalau ingin detail, ayah bisa ajak kau berdiskusi dengan guru sejarah ayah, pak Zamzuri Umar namanya. Bisa juga kau berkunjung ke Prof. Husain Haikal, beliau bahkan bisa menceritakan detail siapa itu C. Snouck Hurgronje, seorang profesor Islamologi di Universitas Leyden yang ditugaskan Belanda menyerang Aceh lewat jalur budaya.

Sayangnya Aceh biarpun tak lama dijajah oleh Belanda tapi harus terus dirundung duka oleh banyak konflik politik. Ayah sendiri tak terlalu paham apa dan siapa itu GAM, mungkin Om Alfian, teman ayah, bisa bercerita banyak padamu. Kebetulan dia orang Lhokseumawe, di rak bukunya banyak sekali buku maupun koleksi kliping berita tentang Aceh berikut pergolakan politiknya. Kau mungkin tertarik dengan dunia diplomasi. Kita pernah lho punya diplomat hebat, Kyai Haji Agus Salim namanya...ayah bisa kok siapkan biografinya. Pak Ali Alatas juga ayah suka. Makanya bahasa asing kamu harus fluent ya! Oh iya, uwa (paman) ibumu juga pernah kerja di deplu, biar beliau cerita banyak pengalamannya waktu jadi private secretary pak dubes. Sekalian bantu nunjukin di peta, negara Yugo itu di sebelah mana.

Kau boleh belajar ilmu hukum atau hubungan internasional sepuasnya. Kalau jadi praktisi berpihaklah selalu pada kebenaran, pada rakyat yang rindu keadilan. Ayah kagum sekali dengan Dr. Said Ramadhan, menantu Asy Syahid Hassan Al Banna ini mampu melawan kezhaliman tiran lewat serangan advokasinya yang santun dan menggetarkan di depan meja pengadilan. Kelak gunakan jaringanmu untuk mencegat gerak lembaga semacam WorldHelp, lembaga pembaptis di Amerika ini berencana memurtadkan 300 anak Aceh, mendidik mereka untuk menghancurkan sendi Islam di Aceh. Ayah pernah baca profilnya, semoga ayah tak lupa alamat situsnya.

Ayah tentu tak bisa selalu menemani semua keingintahuanmu tentang Aceh. Sama halnya ayah tak akan pula memaksamu menuruti semua asaku. Tapi ayah dan ibu yakin kau pasti tak akan menyia-nyiakan kepercayaan ini. Kalau ayah hanya bisa membantu duka mereka lewat aksi-aksi penggalangan dana, siaran on air di radio, buat poster dan kampanye kornetisasi daging qurban untuk daerah bencana, juga beberapa koordinasi yang lain, semoga kau dan rekan-rekan segenerasimu bisa betul-betul meneruskan tugas ini. Kau harus rajin berdekat-dekat dengan masjid, mulailah peradaban itu dari shaf jamaahnya! Jangan kau lupa nasehat ayah ini, karena ayah ingin kau pun selamat. Besok antar ayah ibu jalan-jalan ke pantai Lhoknga ya! Apa benar itu salah satu pantai tercantik di dunia.” ▪

trieha
public relations rumah zakat yogyakarta